Thursday, July 17, 2008

Rindu kami bertemu di Tahajud 2

......................................................

Dalam kesendirian tanpa anak-anak. Aku merasa sebagai orang yang kalah dan tak punya apa-apa. Sampai kusadari aku masih memiliki Allah. Aku mendekat kepada-Nya lebih tulus. Merangkai doa lebih khusyu. Hanya kepada-Nya kutitipkan anak-anak dan cinta mereka kepadaku. Alhamdulillah, sampai sekarang anak-anak tetap meletakkan Ibu mereka di posisi istimewa. Aku bahagia tidak hanya anak-anak masih bisa berprestasi, tetapi juga karena tawa riang dan senyum tulus mereka ketika menciumku setiap kami bertemu.

Doa Itu Dipersatukan Allah
Begitulah, aku kembali tinggal bersama orang tuaku. Kembali ke titik awal. Tapi, Allah Maha Pemberi Rizki. Aku yang tadinya hanya ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan yang pasti
(hanya sesekali menulis lepas untuk media), Alhamdulillah bisa berpenghasilan cukup sebagai
pengajar. Itu juga berkat doa yang tak putus kupinta pada-Nya. Sebenarnya malu sekali hati ini karena terus menerus meminta pada-Nya. Tetapi aku berprasangka baik, Allah senang dengan hamba yang merendahkan hati.

Seperti malam ini, ketika selesai sholat malam. Dalam ingatan tentang anak-anak dan kerinduan, aku menyapa-Nya lagi dengan doa. Di tengah sayup doaku, terdengar tanda SMS masuk. Kuraih HP, ada nama si Mas, anak sulungku tertera disitu.

"Ibu, barusan aku kangen sekali sama ibu. Lalu, aku sholat tahajud untuk mengadu kepada Allah kalau aku kangen ibu."

Hanya itu yang si Mas tulis. Aku tergugu menangis. Seolah doaku berbalas saat itu juga.

"Mas, alhamdulillah ibu juga sedang kangen sama kalian. Ibu senang Mas tidak lupa tahajud."

Setelah itu kutekan tut send sambil mengusap airmata yang membasahi wajahku.

si Mas langsung mereply.
"Bu, tau gak? Ibu tuh memang ibu yang paling baik sedunia."

Allahu Akbar!
Aku tersenyum membacanya. Kuketikkan kalimat sambil menahan perasaan sedih yang menyergapku tiba-tiba. Seandainya aku ada disisinya...

"Alhamdulillah, terima kasih, Nak. Maafkan Ibu ya karena gak bisa temani Mas sholat tahajud..."

Kedua mataku panas. Gelombang air mata seakan mendesak-desak hingga menyakiti kedua bola mataku. Sungguh pada saat itu aku merasa tidak berdaya sebagai Ibu. Ibu macam apa yang bahkan tidak bisa berada di sisi anak-anaknya ketika dibutuhkan ?

Tetapi SMS yang masuk dari sulungku kemudian, sungguh membuatku haru,

"Gak apa, Bu. Insya Allah doa kita didengat Allah. Pasti besok kita ketemu."

Ya Allah, benarkah itu tulisan tangan anakku? Begitu lapang dan saleh dia yang baru berumur 11 tahun itu?Besoknya, ketika kami bertemu, anakku bercerita, kalau setiap kali dia kali dia kangen ibunya, dia akan pergi sholat tahajud dan berdoa kepada Allah. Menurutnya, setelah berbicara dengan Allah, dia bisa tidur dengan tenang.

Alhamdulillah. Kupeluk anak-anakku erat, dalam perasaan haru yang sulit terkatakan. Rasanya tidak ada lagi yang patut kusesali. Perpisahan itu pahit. Tetapi Allah telah mendengarkan doa-doaku. Tak Kuragukan itu.

...............................................

THE END

Wednesday, July 16, 2008

Saya Lelah!

Saya lelah!
Kalau kmu tanya lelah kenapa, saya juga nggak tau.
Yang jelas saya benar-benar lelah!

Kalau kamu mau pergi silakan,
saya pingin istirahat sejenak,
klo beberapa orang selalu bertanya-tanya "Kapan aku kurus?"
sampai saat ini saya juga bertanya-tanya "Kapan aku gemuk?"


Ah.. saya pingin santai dulu.

Rindu kami bertemu di Tahajud

-- Sebuah Kisah Teladan --

Kejadian itu akhirnya tidak terelakkan juga. Aku dan suami memutuskan untuk bercerai, dan sepakat untuk mejelaskannya kepada anak-anak dengan bahasa yang mudah dimengerti. [menurutku, menggunakan bahasa sehalus apapun tetap tidak akan mengubah luka yang hendak digoreskan oleh perceraian]

Rasanya, berat seklai kata ini terucap. Dengan berbagai perasaan kuajak si sulung, waktu itu usianya sepuluh tahun dan adiknya berumur lima tahun, untuk berbicara dari hati ke hati.[sebuah pembicaraan yang akan melukai hati yang terdalam dari buah hati mereka]

"Nak, Ibu dan Ayah sekarang sudah tidak bersama lagi,"
Spontan si sulung menatapku, "Tapi ayah dan ibu masih sayang sama kami kan?"
"Tentu sayang. Ayah dan ibu tetap orang tua kalian, bedanya kami bukan suami istri lagi. Mas ngerti, kan?"
Anak sulungku mengangguk, pelan. Tapi tak mungkin kulupa pandangannya yang penuh luka.

Proses Perceraian Itu
Sejak itu kutata kembali hatiku, terutama untuk membuat anak-anak kuat. Aku tahu hati mereka retak, puing-puingnya harus segera kurekatkan kembali.
Untuk sementara waktu aku masih tinggal bersama mereka, begitu juga ayahnya. Proses perceraian itu masih berjalan, dan setiap jengkal prosesnya, bagiku dipenuhi rasa berdebar tentang siapa yang berhak menjadi wali anak-anak.

Ketika akhirnya palu hakim memberikan keputusan ayahnya yang menjadi wali mereka, dengan alasan kondisi financial veliau lebih memungkinkan,aku berusaha menerimanya dengan lapang dada, walau tentu saja hatiku hancur.

Bagaimanapun anak-anak sebenarnya milih Tuhan. Pikirku mencoba pasrah. Kusyukuri apa yang kumiliki, dalam semua keterbatasannya. Setidaknya aku masih punya hak untuk menyayangi dan mendidik mereka.
Kurasakan benar, sekali lagi, tangan ALLAH menguatkanku. Perpisahan ini memang berkonsekuensi tinggi. Hari-hari terakhir, aku biasakan mereka untuk tidak tergantung padaku lagi. Aku menuntun mereka lebih mandiri.
Si Mas, panggilan sayang untuk anak sulungku, sudah memahami kondisi yang ada. Bahkan si Mas yang selalu menguatkan, jika dia memergokiku menangis secara sembunyi-sembunyi,

"Bu, Mas tahu kok..ibu gk salah. Mas percaya ibu orang yang baik! Mas sayaaaangg sekali sama ibu!"

Begitulah anak sulungku itu kerap memeluk dan menghiburku disaat aku berdoa seusai sholat. Sedang adiknya, hanya menciumku bertubi-tubi. Ya, merekalah sumber kekuatanku.

Menapaki Hidup Sendiri
Ternyata, keputusanku keluar dari rumah ayahnya adalah hal terburuk yang pernah kualami. Bukan, bukan aku takut kehilangan kelayakan hidup yang selama ini ditopangsuamiku, atau takut cercaan karena status janda yang kini kusandang, atau hal-hal duniawi lainnya.

Yang paling menyiksa adalah ketika aku harus berpisah dengan kedua anakku. Meski aayahnya tidak akan membatasi pertemuan kami. Tapi, melewatkan malam-malam tanpa mereka ada disisiku, bisakah ?

Bagaimana dengan PR mereka yang hampir tiap malam kusiapkan? Bagaimana dengan teriakan si Ade yang minta susu tiap pukul 2 pagi? Bagaimana jika si Kakak tidak bisa tidur karena biasanya belaiankulah yang menidurkan?

Setiap momen bersama mereka, bahkan yang sederhana sekalipun kini kurindukan. Lagi-lagi aku hanya bisa menadahkan tangan. Meminta-Nya menguatkanku.

Dalam kesendirian kekhawatiranku juga bertambah. Teringat komentar seorang sahabat setelah perceraian terjadi,

"Bukan soal perpisahan mu dengan suami, tapi bagaimana kmu bisa tetap menjaga gambaran indah dalam angan mereka tentang ibunya."

Perkataan itu membuatku resah berhari-hari.
Ya, selama ini aku hanya diam. Aku terima saja anggapan dan cercaan orang yang selalu menempatkanku sebagai pihak yang "bermasalah".
Dulu aku tak peduli dengan hal-hal ini. Toh, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, apa pandangan anak-anak terhadapku? Bagiamana mungkin kuabaikan ? Bagaimana jika mereka terluka kemudian jatuh sakit karenanya?

Pikiran itu terus menghantuiku. Aku ingin mereka memahamiyang sebenarnya terjadi, tanpa harus membuka kekurangan ayahnya. Toh kami berdua sama-sama bersalah. Tapi, bagaimana caranya setelah aku keluar dari tempat tinggal yang aku tempati, Ya ALLAH ? Bagaimana jika ada yang mengusik pandangan anak-anak tentang ibunya ?

to be continue ..