Wednesday, July 16, 2008

Rindu kami bertemu di Tahajud

-- Sebuah Kisah Teladan --

Kejadian itu akhirnya tidak terelakkan juga. Aku dan suami memutuskan untuk bercerai, dan sepakat untuk mejelaskannya kepada anak-anak dengan bahasa yang mudah dimengerti. [menurutku, menggunakan bahasa sehalus apapun tetap tidak akan mengubah luka yang hendak digoreskan oleh perceraian]

Rasanya, berat seklai kata ini terucap. Dengan berbagai perasaan kuajak si sulung, waktu itu usianya sepuluh tahun dan adiknya berumur lima tahun, untuk berbicara dari hati ke hati.[sebuah pembicaraan yang akan melukai hati yang terdalam dari buah hati mereka]

"Nak, Ibu dan Ayah sekarang sudah tidak bersama lagi,"
Spontan si sulung menatapku, "Tapi ayah dan ibu masih sayang sama kami kan?"
"Tentu sayang. Ayah dan ibu tetap orang tua kalian, bedanya kami bukan suami istri lagi. Mas ngerti, kan?"
Anak sulungku mengangguk, pelan. Tapi tak mungkin kulupa pandangannya yang penuh luka.

Proses Perceraian Itu
Sejak itu kutata kembali hatiku, terutama untuk membuat anak-anak kuat. Aku tahu hati mereka retak, puing-puingnya harus segera kurekatkan kembali.
Untuk sementara waktu aku masih tinggal bersama mereka, begitu juga ayahnya. Proses perceraian itu masih berjalan, dan setiap jengkal prosesnya, bagiku dipenuhi rasa berdebar tentang siapa yang berhak menjadi wali anak-anak.

Ketika akhirnya palu hakim memberikan keputusan ayahnya yang menjadi wali mereka, dengan alasan kondisi financial veliau lebih memungkinkan,aku berusaha menerimanya dengan lapang dada, walau tentu saja hatiku hancur.

Bagaimanapun anak-anak sebenarnya milih Tuhan. Pikirku mencoba pasrah. Kusyukuri apa yang kumiliki, dalam semua keterbatasannya. Setidaknya aku masih punya hak untuk menyayangi dan mendidik mereka.
Kurasakan benar, sekali lagi, tangan ALLAH menguatkanku. Perpisahan ini memang berkonsekuensi tinggi. Hari-hari terakhir, aku biasakan mereka untuk tidak tergantung padaku lagi. Aku menuntun mereka lebih mandiri.
Si Mas, panggilan sayang untuk anak sulungku, sudah memahami kondisi yang ada. Bahkan si Mas yang selalu menguatkan, jika dia memergokiku menangis secara sembunyi-sembunyi,

"Bu, Mas tahu kok..ibu gk salah. Mas percaya ibu orang yang baik! Mas sayaaaangg sekali sama ibu!"

Begitulah anak sulungku itu kerap memeluk dan menghiburku disaat aku berdoa seusai sholat. Sedang adiknya, hanya menciumku bertubi-tubi. Ya, merekalah sumber kekuatanku.

Menapaki Hidup Sendiri
Ternyata, keputusanku keluar dari rumah ayahnya adalah hal terburuk yang pernah kualami. Bukan, bukan aku takut kehilangan kelayakan hidup yang selama ini ditopangsuamiku, atau takut cercaan karena status janda yang kini kusandang, atau hal-hal duniawi lainnya.

Yang paling menyiksa adalah ketika aku harus berpisah dengan kedua anakku. Meski aayahnya tidak akan membatasi pertemuan kami. Tapi, melewatkan malam-malam tanpa mereka ada disisiku, bisakah ?

Bagaimana dengan PR mereka yang hampir tiap malam kusiapkan? Bagaimana dengan teriakan si Ade yang minta susu tiap pukul 2 pagi? Bagaimana jika si Kakak tidak bisa tidur karena biasanya belaiankulah yang menidurkan?

Setiap momen bersama mereka, bahkan yang sederhana sekalipun kini kurindukan. Lagi-lagi aku hanya bisa menadahkan tangan. Meminta-Nya menguatkanku.

Dalam kesendirian kekhawatiranku juga bertambah. Teringat komentar seorang sahabat setelah perceraian terjadi,

"Bukan soal perpisahan mu dengan suami, tapi bagaimana kmu bisa tetap menjaga gambaran indah dalam angan mereka tentang ibunya."

Perkataan itu membuatku resah berhari-hari.
Ya, selama ini aku hanya diam. Aku terima saja anggapan dan cercaan orang yang selalu menempatkanku sebagai pihak yang "bermasalah".
Dulu aku tak peduli dengan hal-hal ini. Toh, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, apa pandangan anak-anak terhadapku? Bagiamana mungkin kuabaikan ? Bagaimana jika mereka terluka kemudian jatuh sakit karenanya?

Pikiran itu terus menghantuiku. Aku ingin mereka memahamiyang sebenarnya terjadi, tanpa harus membuka kekurangan ayahnya. Toh kami berdua sama-sama bersalah. Tapi, bagaimana caranya setelah aku keluar dari tempat tinggal yang aku tempati, Ya ALLAH ? Bagaimana jika ada yang mengusik pandangan anak-anak tentang ibunya ?

to be continue ..

0 comments: